28 Juni 1714 sebagai tonggak sejarah, 28 Juni 1714 yang merupakan hari wafatnya Corneis Chastelein dipercayai sebagai penyulut api spiritualisme para pengikutnya sehingga dijadikan titik tolak berdirinya Jemaat Depok.
[Periode 1714-1815]
Jemaat Depok, sebagaimana wasiat Cornelis Chastelein, dilayani oleh Baprima Lukas, yang diangkat dari kalangan budaknya. Baprima Lukas telah membantu pelayanan Cornelis Chastelein sejak gedung gereja dibangun pada tahun 1700. Dan sejak 1713 Baprima Lukas diangkat oleh Cornelis Chastelein untuk melayani Jemaat Depok sebagai guru agama. Sebagai sosok yang pernah menjabat sebagai Komisaris Politik Gereja Protestan di Batavia, Cornelis Chastelein telah memperjuangkan status Jemaat Depok menjadi bagian dari pelayanan Majelis Gereja Protestan Batavia.
Pada tahun 1750 tercatat ada seorang guru agama bernama Johanes Patimoekai yang melayani Jemaat Depok. Beliau kemungkinan besar seorang lulusan pendidikan agama di Ambon. Pada abad ke-17 dan ke-18 Majelis Gereja Protestan di Batavia mempekerjakan banyak guru agama dari Ambon karena pendidikan guru agama di sana lebih baik.
[Periode 1815-1948]
Pada periode ini pelayanan di Jemaat Depok dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode:
1. Periode Tahun 1815-1860
Pada periode ini Jemaat Depok telah menjadi bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) dan menjadi Jemaat GPI Depok.
Tahun 1815-1816 GPI Depok dilayani oleh pendeta J. Ch. Supper, yang melayani jemaat Batavia dan jemaat Depok.
Tahun 1818 – 1822 pendeta J. Scheurkogel diangkat untuk melayani GPI Batavia dan GPI Depok.
Tahun 1822-1830 pendeta J. Akkersloot diangkat untuk melayani GPI Depok
Tahun 1830-1834 GPI Depok dilayani oleh pendeta W. H. Medhurst, seorang pendeta dari London Missionary Society, yang melayani jemaat pribumi di Batavia dan Depok.
Tahun 1834-1849 GPI menempatkan pendeta H. Wentink untuk melayani GPI Depok.
Pada sekitar tahun 1836 dilakukan renovasi terhadap gedung gereja yang dibangun tahun 1792.
Tahun 1849-1854 GPI Depok dilayani oleh pendeta C.L.C. van Cattenburgh.
Tahun 1854-1864 GPI Depok dilayani oleh pendeta J.R.P.F. Gonggrijp.
Pada tahun 1854, pada masa peralihan dari Pendeta C.L.C. van Cattenburgh dan pendeta J.R.F.P. Gonggrijp, dibangun gedung gereja yang baru. Dan pada tahun 1854 di gedung gereja yang baru secara resmi diterakan nama Jemaat Masehi Depok.
2. Periode Tahun 1860-1942
Tahun 1865-1887 Jemaat Depok dilayani oleh pendeta J. Beukhof. Dan pada masa ini Jemaat Depok sudah menjadi jemaat yang otonom dalam lingkungan GPI, ditambah lagi dengan telah beroperasinya jalur kereta antara Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor) membuat Depok semakin dikenal dan banyak dikunjungi oleh orang-orang yang melintas dari Batavia ke Buitenzorg. Hal ini membuat perekonomian Depok menjadi lebih baik.
Sejak tahun 1871, pemerintah kolonial menerapkan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Sejak itu komunitas Depok mengatur dirinya sendiri secara otonom. Atas usul seorang jaksa bernama Mr. H. Klein tanggal 28 Juni diusulkan menjadi hari Depok (Depoksche Dag) untuk mengikat komunitas Depok sebagai ahli waris dari peninggalan Cornelis Chastelein. Pada masa pelayanan pendeta J. Beukhof, tepatnya 21 Agustus 1878 di Depok didirikan sebuah seminari yang bertujuan untuk mendidik para pemuda pribumi untuk menjadi penginjil diantara bangsanya sendiri.
Antara tahun 1887 sampai tahun 1905 Jemaat Masehi Depok dilayani oleh pendeta Cornelis de Graaf. Pada masa pelayanannya, pendeta de Graaf memelopori perayaan berdirinya Jemaat Masehi Depok, 28 Juni 1714, Pada peringatan 28 Juni 1892 ditandai dengan pemasangan batu peringatan yang saat ini ditempel pada dinding di bagian pintu masuk gedung gereja.
Setelah pendeta de Graaf, Jemaat GPI Depok dilayani oleh pendeta N. Wiggelendam (1905-1908), pendeta G.A.W. Geisller (1908-1917, 1933-1937), pendeta A. van Barba (1917-1919), Ds. (Ds=dominee) G. Le Grand (1919-1924), pendeta H. Kraayer van Aalst (1924-1929), pendeta A.N. Binkhuysen (1929-1933), dan Ds. A.A. van Dalen (1937-1942).
Peringatan 200 tahun wafatnya Cornelis Chastelein dan perayaan berdirinya Jemaat Masehi Depok 28 Juni 1914 dirayakan pada masa pertama pelayanan pendeta Geissler.
Sejalan dengan reorganisasi GPI pada tahun 1935, dimana GPI menata dirinya dengan sistem presbiterial sinodal, maka dibentuklah klasis. Dan Jemaat GPI Depok dimasukkan ke dalam Klasis Jawa Barat. Pada tahun 1920 dilakukan pemugaran secara menyeluruh terhadap gedung gereja yang dibangun tahun 1854,
3. Periode 1942-1948
Tanggal 8 Maret 1942 pemerintah kolonial Belanda menyerah dan seluruh Indonesia dikuasai oleh Jepang. Pada masa pendudukan Jepang semua pimpinan GPI ditawan. Karena itu kepeminpnan Majelis Gereja Protestan di Indonesia diambil alih oleh pendeta-pendeta Indonesia.
Dari tahun 1942 sampai tahun 1945 Jemaat GPI Depok dilayani oleh Ds. Tutuarima, yang juga merupakan anggota Majelis Gereja Protestan di Indonesia.
Antara tanggal 7 sampai 13 Oktober 1945, akibat masyarakat Depok tidak mengibarkan bendera Merah Putih ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, wilayah Depok diserang oleh laskar rakyat dari sekeliling Depok. Tujuan serangan itu adalah orang-orang Belanda yang ada di Depok, yang kemudian serangan itu meluas kepada orang-orang yang dianggap kaki tangan Belanda. Akibat dari peristiwa itu orang-orang Depok ditawan oleh para laskar rakyat. Sampai tahun 1949 orang-orang Depok tinggal di kamp pengungsian di Kedung Halang. Selama masa pengungsian itu Ds. Tutuarima tetap melayani dan menjamin keselamatan orang-orang Depok.
Sementara, setelah Jepang menyerah, kepemimpinan GPI diambil alih kembali oleh pendeta-pendeta Belanda. Di GPI Jemaat Depok ditempatkan Ds. D. Broer, yang melayani selama satu tahun, sampai tahun 1947. Pelayanan berikutnya dilakukan oleh Ds. B. Lieve sampai tahun 1948. Dan selanjutnya Jemaat dipimpin oleh Penghentar Jemaat Penatua J.M. Soedira. Kemudian GPI Jemaat Depok dilayani oleh Ds. D.Boon dari tahun 1947 sampai 1953.
[Periode GPIB Depok]
GPI melaksanakan Sidang Gereja Am GPI yang berlangsung 30 Mei sampai 10 Juni 1948 di Bogor, yang salah satu keputusannya adalah membentuk gereja keempat. GPIB sebagai gereja keempat dibentuk pada tanggal 31 Oktober 1948 di Jakarta, setelah GMIM di Minahasa, GPM di Maluku, dan GMIT di NTT. GPIB berdiri sebagai gereja yang otonom dalam lingkungan GPI. Wilayah GPIB adalah di sebelah barat dari wilayah ketiga gereja mandiri tersebut (GMIM, GPM dan GMIT). Ada 53 jemaat yang diserahkan (termasuk di dalamnya GPI Depok) menjadi bagian dari GPIB, yang terpencar ke dalam tujuh klasis. Dan Jemaat Depok masuk ke dalam klasis Jawa Barat bersama dengan jemaat-jemaat di Jakarta.
1. Periode 1948-1978
Pada awal tahun 1950-an jemaat-jemaat GPIB pada umumnya melakukan konsolidasi yang dimulai dari pelayanan. Pelayanan pada masa ini masih menggunakan bahasa Belanda, yang pada kondisi tertentu dianggap lebih tinggi derajatnya, dan bahasa Indonesia. Sehingga timbul Majelis Jemaat kembar dalam satu jemaat, dan ada dua kas dalam Majelis Jemaat. Masalah ini dibicarakan dalam Sidang Sinode III tahun 1953 di Jakarta.
Pada Sidang Sinode IV tahun 1955 diusulkan agar dibentuk peraturan Jemaat yang bertujuan untuk memelihara keutuhan jemaat agar tidak terpecah-belah akibat bahasa yang digunakan.
Pada Sidang Sinode V tahun 1958 dihasilkan keputusan untuk menghapus pelayanan berbahasa Belanda. Rumusan yang digunakan saat itu adalah: GPIB hanya mengenal satu Jemaat, satu Majelis Jemaat dan satu Kas Jemaat, Sementara pada tahun 1950 diterbitkan kebijakan pemerintah tentang status tanah partikelir. Pemerintah menghapus kepemilikan tanah-tanah partikelir, termasuk Depok. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut pada tahun 1952 tanah Depok diserahkan kepada pemerintah. Namun bagi warga Depok yang ingin memiliki tanah tersebut, khususnya untuk tempat tinggal atau usaha, harus mengurus kepemilikannya ke pemerintah. Dan pemerintah akan memberikan sertifikat kepemilikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan umum dihibahkan oleh pemerintah kepada masyarakat Depok. Agar tanah-tanah hibah tersebut dapat dikelola untuk kepentingan bersama dibentuklah Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) pada tanggal 4 Agustus 1952. Sebagai kelanjutan dari tindakan-tindakan hukum ini, LCC menyerahkan tanah gereja seluas 33,50 x 24 m2 kepada GPIB pada tanggal 24 April 1956. Penyerahan tanah dan bangunan gereja dari LCC kepada GPIB diterima oleh Pendeta C.Ch. Kainama sebagai Ketua Majelis Sinode saat itu.
Pada masa ini Majelis Sinode GPIB menempatkan pendeta M. Sitaniapesy di GPIB Depok antara tahun 1951-1954. Pendeta Sitaniapesy adalah pendeta dari GPM dan melayani di TNI Angkatan Laut. Karena itu ia hanya bertugas sebagai pendeta konsulen. Majelis Jemaatlah yang berfungsi memimpin seluruh pelayanan.
Kemudian MS GPIB menempatkan pendeta F.J. Limahelu dari tahun 1957-1962. Tahun 1962-1965 GPIB Depok dilayani oleh pendeta C.Ch. Hursepuny, kemudian dilanjutkan oleh pendeta R.R. Daada (1965-1972). Kedua pendeta inilah yang melakukan konsolidasi pelayanan di Jemaat Depok.
Setelah masa pelayanan pendeta R.R. Daada sempat terjadi kekosongan pendeta dalam Jemaat, sehingga penatua Th.A. Leander berfungsi sebagai Penghentar Jemaat pada tahun 1972-1974. Kemudian MS GPIB menempatkan pendeta A.F. Siwabessy pada tahun 1974-1975. Tahun 1975 MS GPIB menempatkan pendeta F. Watie untuk melanjutkan konsolidasi pelayanan.
Pada Persidangan Sinode VI di Gadog pada tahun 1960 dirumuskan konsep Jemaat Misioner. Dalam pengembangan konsep Jemaat Misioner disusunlah Tata Gereja 1964 yang dilengkapi dengan peraturan-peraturan Jemaat, Majelis Jemaat, serta Pemilihan Penatua dan Diaken. Kemudian Tata Gereja ini dikembangkan lagi pada ahun 1972, yang dilengkapi dengan berbagai peraturan tentang semua bidang yang terlibat dalam pelayanan di GPIB. Pada masa itu pendeta hanya berfungsi sebagai pendeta jemaat, sementara Jemaat sendiri dipimpin oleh Majelis Jemaat.
Untuk memperlancar konsolidasi pelayanan dan pembangunan Jemaat Misioner maka Klasis dihapus pada tahun 1964 dan diganti dengan Konven Jemaat-Jemaat. Di kemudian hari Konven Jemaat-Jemaat diganti dengan Musyawarah Pelayanan (MUPEL).
Sejak tahun 1966 Jemaat Depok mulai berperan dalam persidangan-persidangan sinode. Sebelumnya Jemaat-Jemaat tidak langsung mengikuti persidangan sinode, tetapi Wakil-Wakil Klasis yang berjumlah 3-5 orang, pendeta dan penatua yang dipercayakan untuk menghadiri persidangan sinode.
2. Periode Tahun 1978-1995
Tahun 1977 dapat dikatakan sebagai langkah awal untuk melaksanakan pembangunan Jemaat Misioner. Hal ini ditandai dengan Jemaat mulai memperhatikan kebutuhan lingkungan dan dengan adanya pembangunan Perumnas Depok I. Pada tanggal 10 Juni 1979 diresmikan pembukaan ibadah untuk sektor Shalom bertempat di GKJ Yeremia Depok. Pelayanan ini dirintis oleh penatua Gusti Made Oka. Kemudian dibuka lagi sektor Getsemani. Nama sektor Shalom diganti dengan nama Bethel, karena nama Shalom dipersiapkan untuk menjadi nama Jemaat dari kedua sektor tersebut. Melalui Surat Keputusan Majelis Sinode No.279/83/MS.XIII/Kpts pada tanggal 17 Juli 1983 dilembagakan GPIB Jemaat Shalom Depok, dengan pendeta E.Ch.D. Polii, Sm.Th sebagai pendeta pertamanya.
Tahun 1983 Majelis Sinode GPIB memindahkan pendeta F. Watie dari Jemaat Depok. Dan antara tahun 1983-1985 Majelis Sinode GPIB tidak menempatkan pendeta di Jemaat Depok. Karena itu penatua Ny. J.C. Samuel menjabat sebagai Ketua Majelis Jemaat, dan merupakan Ketua Majelis Jemaat pertama di Jemaat Depok.
Tahun 1985-1989 Majelis Sinode GPIB menempatkan pendeta P.H. Sitorus. S.Th di Jemaat Depok. Hasil Persidangan Sinode XIII 1982 di Pandaan Jawa Timur menetapkan Bidang Pelayanan Kategorial menjadi lima bidang, yaitu Pelayanan Anak, Persekutuan Teruna, Gerakan Pemuda, Persatuan Wanita, dan Persekutuan Kaum Bapak.
Tahun 1989-1993 pendeta A.Ph. Kawilarang, S.Th menggantikan pendeta P.H. Sitorus. Dan tahun 1992 dibangun Pastori II yang terletak di belakang gedung gereja.
Tahun 1993 pendeta Kawilarang digantikan oleh pendeta J.D. Tuasuun, S.Th. Tahun 1994, sebagai usaha untuk menata organisasi dan pelayanan, disusunlah Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat (PPMJ) yang kemudian disahkan dalam Sidang Majelis Jemaat pada tanggal 31 Mei 1995
3. Periode 1995-2023
Periode ini GPIB Jemaat “Immanuel” Depok bergerak menuju ke arah kemandirian sebagai Gereja Misioner. Dan mulai dilaksanakan Ibadah Minggu pkl. 06.00, 09.00 dan 18.00 di gedung gereja dan jam 07.00 di Pos Ibadah Jl. Flamboyan.
Berikut para Pendeta/Ketua Majelis Jemaat yang ditempatkan oleh Majelis Sinode untuk melayani di GPIB Jemaat “Immanuel” Depok:
2014 vikaris Eflin Likumahuwa (mentor Pdt. A. Letlora)
2023 vikaris Fiola A. Thahara (mentor Pdt. B. Syauta)
Ringkasan Sejarah ini diambil dari buku “Melacak Jejak-Jejak Sang Pembebas” karya pendeta Hendrik Ongirwalu, M.Th dan pendeta Hallie Jonathans, S.Th, PT. BPK Gunung Mulia, 2014